Sumber : https://regional.kompas.com/read/2019/02/23/13453251/desa-bengkala-di-bali-tempat-ternyaman-bagi-mereka-yang-tuli?utm_campaign=Dlvrit&utm_source=Facebook&utm_medium=Social
KOMPAS.com – Sebuah desa kecil di pesisir Bali Utara memiliki keunikan, sebab banyak penduduknya berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat yang disebut dengan Kata Kolok.
Kolok, dalam bahasa lokal berarti tuli. Dengan demikian, "Kata Kolok" adalah bahasa yang digunakan orang tuli di sana sebagai alat komunikasi.
Desa tersebut bernama Bengkala. Secara administratif, desa ini terletak di Kecamatan Kebutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali.
Setidaknya terdapat 44 warga yang tergolong tunarungu dan tunawicara tinggal di desa ini. Mereka menetap di Bengkala dari generasi ke generasi. Itulah mengapa bahasa isyarat menjadi bahasa yang banyak digunakan di sana.
Dikutip dari BBC, masyarakat setempat menganggapnya sebagai sebuah kutukan. Sementara, peneliti menyebut adanya gen resesif DFNB3 yang membuat 1 dari 50 bayi di komunitas ini terlahir tuli.
Teman tuli yang tinggal di Bengkala terbilang beruntung. Pasalnya, sekitar 3.000 penduduk Bengkala lain yang memiliki pendengaran normal tetap mempelajari Kata Kolok. Hal itu semata untuk dapat menjalin komunikasi dengan tetangga dan saudaranya yang tuli.
Ini tidak dialami oleh semua orang tuli, yang kebanyakan hanya dapat berkomunikasi dengan sesamanya, karena lingkungan tidak memelajari bahasa isyarat.
Jika kaum tuli disebut sebagai Kolok, mereka yang bisa mendengar disebut sebagai "enget" di desa itu. Jika mengunjungi Bengkala, siapa pun akan dengan mudah menemui Kolok dan Enget berkomunikasi dalam bahasa isyarat.
Mereka tidak mengeluarkan suara, akan tetapi sesekali keduanya akan tertawa terbahak-bahak karena perbincangan yang dilakukan.
Enget sangat menghargai kaum Kolok, mereka pun membantu perjuangan-perjuangan para Kolok untuk bertahan hidup dan menjalin hidup normal sebagaimana masyarakat normal pada umumnya.
Sebagian besar masyarakat tuli di Bengkala bekerja sebagai petani atau pekerja biasa, seperti wanita yang banyak menenun pakaian tradisional. Sebagian yang lain dipekerjakan untuk menjalankan tugas-tugas keamanan atau petugas permakaman.
Intinya, tidak sulit bagi Kolok untuk mendapatkan pekerjaan di desanya sendiri, meskipun pendapatannya tidak seberapa.
Juru bicara Aliansi Tuli Bengkala, I Ketut Kanta menyebut upah yang diberikan bagi Kolok dan Enget tidak dibeda-bedakan, yakni sekitar Rp 50.000.
Ia juga berpendapat, Bengkala menjadi tempat terbaik untuk hidup dan berkembang bagi mereka yang tuli. Selain banyak teman senasib dan masyarakat normal yang mau mempelajari bahasa isyarat, orang tuli juga bisa mendapatkan pekerjaan di desa itu.
Berbeda dari bahasa isyarat lain
Wisnu, salah satu masyarakat Bengkala yang juga memiliki saudara tuli menyebutkan Kata Kolok berbeda dengan bahasa isyarat lainnya.
Ini dibenarkan oleh ahli bahasa yang pernah melakukan penelitian di sana, Hannah Lutzenberger, ia mengakui Kata Kolok berbeda dengan bahasa isyarat lain. Hanya sedikit yang mempunyai kesamaan makna.
Jadi, meskipun mereka hidup dengan relatif mudah di desanya, namun kesulitan akan ditemui ketika pergi dan berjumpa dengan kaum tuli yang berasal dari luar Bengkala.
Mereka akan kesulitan menjalin komunikasi, walau sama-sama menggunakan bahasa isyarat. Itu dikarenakan Kata Kolok yang digunakan masyarakat Bengkala berbeda dengan bahasa isyarat yang digunakan pada umumnya.
Bahasa Kolok cenderung mudah dipahami oleh orang baru sekalipun, karena menggunakan isyarat-isyarat sederhana.
Misalnya, "laki-laki" diisyaratkan dengan jari telunjuk yang kaku, "ayah" dengan melengkungkan telunjuk di atas bibir menyerupai kumis, "haus" dengan membelai leher, dan sebagainya.
Sama halnya dengan bahasa verbal yang mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, Kata Kolok juga berkembang seiring perjalanan waktu.
Perkembangan itu dipahami, diterima, dan digunakan ole masyarakat dalam komunikasi sehari-hari.